Foto di atas adalah foto ibuku (61thn) bersama Lino, anakku (5bulan) di depan karyaku di sebuah pameran bersama 2 bulan lalu
Selepas SMA aku meneruskan ke jurusan seni rupa atas saran kuat ayahku didukung oleh ibuku. Bagiku saat itu agak aneh orangtua menyarankan anaknya kuliah di jurusan seni rupa. Sekarang aku mengerti, jika aku ternyata memang mentok di seni rupa.
Di jurusan seni rupa di Bandung, aku diajari bermacam-macam ilmu. langsung maupun tidak. teori maupun prakteknya. ilmu yang aplikatif maupun ilmu yang lampau. Singkat kata, aku kemudian terbiasa dengan membuat bermacam macam cara untuk lulus dengan baik dengan menggunakan ilmu2 tersebut.
Ilmu yang melekat hingga hari ini adalah bagaimana menjadi seniman perempuan.
Dulu jujur saja aku mengambil mata kuliah 'keperempuanan' hanya untuk mengisi SKS yang kurang dan "hey, iam a girl, and i wanna be an artist, lets do this". Nothing more, nothing less. Tapi 1 semester di kelas itu ternyata belum cukup memberikan pencerahan bagiku apa sebenarnya perbedaan menjadi women artist and just being an artist?
Apa hanya karena perempuan memiliki perspekif yang berbeda dari laki2 sehingga seniman yg berkelamin perempuan patut di labeli sebagai seniman perempuan dan bukan seniman? Apa karena perbedaan sudut pandang, cara lihat. Perempuan melihat detail, laki-laki melihat garis besarnya? Apa karena perbedaan emotional state perempuan lebih personal dan laki-laki lebih reliastis?
Perempuan memang rumit. Jangan berusaha mengerti perempuan, kata mereka. Perempuan mengerti perempuan lain, karenanya mereka memendam rasa negatif satu sama lain. Tapi kenapa setiap acara 'keperempuanan' selalu dipenuhi oleh perempuan yang mengemukakan perbedaan dan ingin dimengerti dan diterima apa adanya oleh masyarakat atau oleh mainstream's taste yang mana menurut argumen perempuan2 tadi, semuanya patriarkis. Sampai kapan seniman perempuan menjadikan rasa sakit hatinya sebagai inspirasi berkaryanya?
Setelah aku melahirkan seorang putra, aku baru benar-benar merasakan apa kata teori. Memang sulit jika harus breastfed anak sembari menggambar. Dan rasanya ga mungkin aku gendong bayi sambil mengglasir karya. Semuanya serba berubah. Prioritasku tetaplah tumbuh kembang bayiku yg sehat. Sehingga sering aku mencuri-curi waktu untuk mengglasir atau menggambar di keramik pada malam hari ketika dia tidur agak lama.
Dan ternyata, secara tidak langsung, kelahiran anakku juga berpengaruh pada keberlangsungan karyaku. Dengan mudah aku di lihat sebagai ibu dulu yang pertama. Dan seniman yang kedua. Apalagi karierku belum sestabil itu. Otomatis timbul rasa jengah. Timbul rasa ingin berhenti dan memulai sesuatu yg lebih jelas ketimbang menjadi seniman. Tapi di satu sisi, hal-hal seperti ini menjadi alarm buatku untuk selalu sadar akan mimpiku.
Tantangannya adalah bagaimana terus berdedikasi dan tak berhenti. Bagaimana menjadikan rasa sakit hati sebagai rasa yang sama seperti rasa membutuhkan katarsis pada sebuah karya, bukan memperlihatkannya di kehidupan sehari hari. Tantangannya adalah bagaimana menjadi seorang ibu yang bisa hidup dan menghidupi keluarganya dari apa yang dia suka. Dan, sebelum itu, tantangan yg paling besarnya adalah;mencari, menemukan, lalu menjaga keseimbangan peran-peranku.